Selasa, 25 Maret 2014

Sejarah Usmani









KERAJAAN TURQI USMANI



Dosen Pembimbing :

M. Ridwan Abu Bakar

Dibuat oleh :

Lukmanul hakim      ( A02212064 )

JURUSAN SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
                                            FAKULTAS ADAB
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2014





 
I.     PENDAHULUAN
Kerajaan Turki Usmani muncul di saat Islam berada dalam era kemunduran pertama.[1] Berawal dari kerajaan kecil, lalu mengalami perkembangan pesat, dan akhirnya sempat diakui sebagai negara adikuasa pada masanya dengan wilayah kekuasaan yang meliputi bagian utara Afrika, bagian barat Asia dan Eropa bagian Timur.[2] Masa pemerintahannya berjalan dalam rentang waktu yang cukup panjang sejak tahun 1299 M-1924 M. Kurang lebih enam abad (600 tahun).[3].
Dalam rentang waktu yang demikian panjang kerajaan Turki Usmani mengalami dinamika yang selalu menghadirkan format dan ciri khas yang baru dalam pemerintahan, bahkan merupakan penyelamat dan bebas dunia Islam dari kekacauan yang berkepanjangan terutama di bidang hukum, karena sebagaimana diketahui, bahwa pemerintahan Turki Usmani tidak hanya terbatas pada kekuasaan dan wilayah, tapi juga meliputi bidang agama. Pada periode berikutnya,  kerajaan Turki Usmani yang berpijak kepada Syari’at Islam mulai bergeser menjadi hukum sekuler, ini terjadi pada akhir abad-19 tepatnya pada era tanzimat (1839-1876) ketika terjadi persentuhan budaya timur (Islam) dengan budaya Barat (Eropa).[4] Era tanzimat merupakan gerakan pembaharuan yang terjadi di Turki Usmani, yang pada hakikatnya berintikan upaya pemerintah Turki Usmani untuk melakukan perbaikan dalam tata aturan perundangan di segala bidang, dan salah satu hukum, di samping piagam Gulhane dan Humayun. Untuk mengetahui lebih jauh tentang perkembangan hukum Islam pada masa Turki Usmani makalah sederhana ini mencoba menguraikan, dengan pokok pembahasan; Sebelum Tanzimat, Era Tanzimat, dan sesudah tanzima, hingga Turki Usami menjadi sebuah Republik.



II.  PEMBAHASAN
A.    Sebelum Tanzimat
Kerajaan Turki Usmani dikepalai oleh seorang Sultan yang mempunyai kekuasaan temporal atau dunia dan kekuasaan spritual atau rohani. Sebagai penguasa duniawi ia memakai titel Sultan dan sebagai kepala rohani umat Islam ia memakai gelar Khalifah.[5] Dengan demikian Raja Usmani mempunyai dua bentuk kekuasaan, kekuasaan memerintah negara dan kekuasaan menyiarkan dan membela Islam. Dalam melaksanakan kedua kekuasaan di atas, Sultan dibantu oleh dua pegawai tinggi: sadrazam untuk urusan pemerintahan dan syaikh al-Islam untuk urusan keagamaan. Keduanya tidak mempunyai banyak suara dalam soal pemerintahan dan hanya melaksanakan perintah Sultan.
Dikala Sultan berhalangan atau berpergian ia digantikan sadrazam dalam menjalankan pemerintahan. Syaikh al-Islam yang mengurus bidang keagamaan dibantu oleh qadhi askar al-rumali yang membawahi qadhi-qadhi wilayah Usamniyah bagian Eropa, sedang qadhi askar anduly membawahi qadhi-qadhi wilayah Usmaniyah di Asia dan Mesir.[6] Dalam melaksanakan tugasnya para qadhi tersebut merujuk kepada mazhab Hanafi.[7] Hal ini yang disebabkan mazhab yang dipakai oleh Sultan adalah mazhab Hanafi. Bentuk-bentuk peradilan pada masa ini :
1.      Mahkamah Biasa/Rendah (al-Juziyat), yang bertugas menyelesaikan perkara-perkara pidana dan perdata.
2.      Mahkamah Banding (Mahkamah al-Isti’naf), yang bertugas meneliti dan mengkaji perkara yang berlaku.
3.      Mahkamah Tinggi (Mahkamah al-Tamayz au al-Naqd wa al-Ibram), yang bertugas memecat para qadhi yang terbukti melakukan kesalahan dalam menetapkan hukum.
4.      Mahkamah Agung (Mahkamah al-Isti’naf al-Ulya), yang langsung di bawah pengawasan Sultan.[8]
Lembaga peradilan (qadha’) pada masa ini belum berjalan dengan baik, karena terdapat intervensi dari pemerintah, bahkan sistem peradilan dikuasai oleh kroni-kroni dan pejabat pemerintah. Jadi belum tampak dengan jelas pemisahan antara urusan agama dan pemerintahan.

B.     Konflik dengan Jeniserry
Wazir Agung sebagai figure kunci dalam pembaruan, berpendapat bahwa kekalahan Turki disebabkan oleh persoalan teknismiliter dan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi dari Eropa merupakan jalan keluarnya. Selain itu para ahli Eropa juga diundang Turki guna mempercepat pembaruan. Bagaimana pun usaha-usaha pembaruan tidak berjalan dengan mudah, kelompok-kelompok konservatif yang awalnya mendukung pembaruan ternyata mempunyai kepentingan masing-masing. dalam masa itu terjadi dua siklus peristiwa dari interaksi kelompok pembaharuan dengan kelompok konservatif, yaitu:
1.      Peristiwa Edirne tahun 1703, Syekh al-Islam Feyzulah berhasil merebut posisi Wazir Agung dari koprulu. sepak terjang Feyzullah menciptakan oposisi di berbagai tempat. bersama-sama dengan mahasiswa, ulama level rendah, dan kelompok-kelompok penentang, Jeniserry melancarkan pemberontakan dan berhasil menguasai Istambul dan istana Sultan di Edirne.
2.      Periode Tulip. Damod Ibrahim sebagai Wazir Agung didukung Sultan Ahmad III, melakukan usaha-usaha besar dalam mengadopsi teknologi modern guna memperkuat pemerintahan pusat. namun kebijakannya tidak mampu memecahkan kesulitan utama pemerintah di bidang financial dan sosial masyarakat pada umumnya. Priode ini berakhir ketika semua unsur oposisi berhasil menggulingkan Sultan dan Wazir Agunya tahun 1750.[9]
Di masa pemerintahan Salim III, pembaruan lebih fundamental di bidang politik, sosial, ekonomi dan hukum. Meskipun Salim gagal dalam banyak hal, usaha pembaruannya menimbulkan periode orde baru. program pembaruannya yang paling serius adalah di bidang militer yaitu dengan meningkatkan kemampuan Jeniserry (dengan mengharuskan mengikuti pendidikan dan pelatihan terprogram di bawah instuktur Perancis). Jeniserry dituntut menguasai strategi dan teknologi militer modern, serta dilarang terlibat dalam kegiatan-kegiatan non militer. Jeniserry bersama pejabat provinsi berhasil mengerahkan rakyat menentang pembaruan Salim. Tahun 1801 Salim berhasil digulingkan.
Mahmud II dinobatkan menggantkan Salim, di awal pemerintahannya, Mahmud berusaha mengakomodasi kekuatan-kekuatan yang beraneka ragam sambil perlahan-lahan merekrut orang-orang yang sepaham dengannya (di golongan elit dan jeniserry), kemudian menempatkan mereka pada posisi-posisi penting dalam lembaga-lembaga keagamaan dan militer. Tahun 1826 membentuk korps tentara baru, di tahun yang sama Sultan Mahmud memerintahkan tentara baru tersebut untuk meredamkan pemberontakan dan jeniserry dinyatakan bubar.
Pembaruan yang dilakukan Mahmud setelahnya semakin memperjelas arah pembaruan Turki berikutnya, terutama di bidang pendidikan. Pembaruan berhasil memperkuat dan diidentifikasikan dengan ide pembaruan westernisasi. Sayangnya program-program pembaru Mahmud tidak mampu membangkitkan Turki dan malah menjadikan Turki sangat bergantung kepada Eropa dalam hutang luar negeri dan alih teknologi.[10]

C.    Masa Tanzimat atau Reorganisasi (1839-1876 M)
Secara etimologi tanzimat berasal dari kata nazhzhama-yunazhzhimu-tanzhimat, yang berarti mengatur, menyusun, dan memperbaiki.[11] Ini dimaksudkan untuk menggambarkan seluruh gerakan pembaharuan yang terjadi di Turki Usmani pada pertengahan abad ke-19. Gerakan ini ditandai dengan munculnya sejumlah tokoh pembaharuan Turki Usmani yang belajar dari Barat yaitu bidang pemerintahan, hukum, administrasi, pendidikan, keuangan, perdagangan dan sebagainya.
Tanzimat merupakan suatu gerakan pembaharuan sebagai kelanjutan dari kemajuan yang telah dilakukan oleh Sultan Sulaiman (1520-1566 M) yang termasyhur dengan nama al-Qanuni. Namun pembaharuan yang sebenarnya lebih membekas dan berpengaruh pada masa Sultan Mahmud II (1808-1839 M) Ia memusatkan perhatiannya pada berbagai perubahan internal diantaranya dalam organisasi pemerintahan dan hukum. Sultan Mahmud II juga dikenal sebagai Sultan yang pertama kali dengan tegas mengadakan perbedaan antara urusan agama dan urusan dunia. Urusan agama diatur oleh syari’at Islam (tasyr’ al-dini) dan urusan dunia diatur oleh hukum yang bukan syari’at (tasyri’ madani).[12] Hukum syari’at terletak di bawah kekuasaan syaikh al-Islam, sedangkan hukum bukan syari’at diserahkan kepada dewan perancang hukum untuk mengaturnya, hukum yang bukan syari’at ini diadopsi dari Eropa, Perancis dan negeri asing lainnya. Diantaranya adalah al-Nizham al-Qadha al-Madani (Undang-undang Peradilan Perdata).[13]


Kemunculan tanzimat dilatar belakangi oleh:
1.      Khusus bidang hukum terjadinya persentuhan hukum Barat dan hukum Islam
2.      Muncul para tokoh tanzimat[14] yang ingin membatasi kekuasaan Sultan yang absolut.[15]
Disamping itu pada masa ini kondisi masyarakat terdiri dari tiga lapisan yaitu:
1.      Tradisional, yang mempertahankan dan membangun pemikiran berdasarkan fiqh dan berpijak pada mazhab yang ada. Karena fiqh dianggap telah mapan dan sempurna sehingga mereka berpendapat mazhab ini harus dikembangkan dan disosialisasikan.
2.      Modernisme, yang menawarkan agar fiqh perlu diseleksi dan dikembangkan sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat.
3.      Reformasi, melontarkan gagasan, bahwa fiqh yang ada tidak mampu merespon berbagai perkembangan yang muncul sebagai akses perkembangan zaman dan kebutuhan manusia yang multi dimensionalitas. Oleh karena itu diperlukan fiqh baru, yang menafsirkan nash secara kontekstual.
Agaknya keadaan masyarakat ini juga mempengaruhi munculnya pembaharuan lebih-lebih lapisan modernisme dan reformasi. Realisasi pembaharuan ini dimulai dengan diumumkannya Piagam Gulhane (Khatt-i Syarif Gulhane) pada tanggal 3 Nopember 1839 M, kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya Piagam Humayun (Khatt-i Syarif al-Humayun) pada tahun 1856 M.20 Gerakan ini terjadi pada masa Sultan Abdul Majid (1839-1861 M) putra Sultan Mahmud II. Piagam Gulhane berisikan berbagai bentuk perubahan yang pada masa permulaan kerajan Turki Usmani, syari’at Islam dan Undang-undang Negara dipatuhi, sehingga negara menjadi kokoh dan kuat. Untuk kembali pada masa tersebut, maka perlu diadakan perubahan-perubahan yang membawa kepada pemerintahan yang baik, yaitu:
1.      Terjaminnya ketentraman hidup, harta kehormatan dan warga negara.
2.      Peraturan mengenai pemungutan pajak.
3.      Peraturan mengenai kewajiban dan lamanya dinas meliter.[16]
Selanjutnya dijelaskan bahwa tertuduh akan diadili secara terbuka dan sebelum pengadilan pelaksanaan hukuman mati dengan racun dan jalan lain tidak dibolehkan. Pelanggaran terhadap kehormatan seseorang juga tidak diperkenankan. Hak milik terhadap harta dijamin dan tiap orang mempunyai kebebasan terhadap harta yang dimilikinya. Ahli waris dari yang kena hukuman pidana tidak boleh dicabut haknya untuk mewarisi, dan demikian pula harta yang kena hukuman pidana tidak boleh disita.[17]Melihat muatan Piagam Gulhane ini terlihat adanya usaha pembaharu untuk melakukan rekonsiliasi antar muslim tradisional dengan kemajuan[18], serta institusi-institusi baru yang tidak bertentangan dengan hukum Islam, bahkan bisa menampung kebutuhan mereka. Menjamin keamanan hidup, ketenangan, jaminan kepemilikan.
Satu hal yang penting dalam piagam ini adalah adanya ketentuan bahwa aturan-aturan itu berlaku untuk semua lapisan masyarakat dan semua golongan agama tanpa ada pengecualian. Atas dasar piagam ini, maka terjadi beberapa pembaharuan dalam berbagai institusi kemasyarakan Turki Usmani. Diantaranya dalam bidang hukum dirumuskannya kodifikasi hukum perdata oleh Majelis Ahkam al-Adliyah dan hukum pidana. Sedang dibidang pemerintahan adanya sistem musyawarah dan di bidang pendidikan adanya pemisahan antara pendidikan umum dan agama, serta kekuasaan pendidikan umum dilepaskan dari kekuasaan ulama Pada masa ini mulai masuk pengaruh sistem pendidikan Barat. Agaknya sejak saat ini pemisahan pendidikan antara hukum dan agama ini berlaku sampai sekarang.
Selanjutnya pada tahun 1856 M Sultan Abdul Majid mengumumkan berlakunya piagam Humayun yang lebih banyak mengandung pembaharuan terhadap kedudukan orang Eropa dan non muslim yang berada di bawah kekuasaan Turki Usmani, sehingga antara orang Eropa dan rakyat Islam Turki tidak ada perbedaan lagi artinya mereka mempunyai hak yang sama dalam hukum. Walaupun piagam Humayun dikeluarkan untuk memperkuat keberadaan piagam Gulhane, namun jika diperhatikan lebih jauh piagam ini memberikan hak dan jaminan kepada bangsa Eropa untuk semakin memantapkan keberadaan di Turki Usmani. Sikap pro-Barat ini pada akhirnya membawa kelemahan terhadap kerajaan Turki Usmani dalam menghadapi Eropa.
Dapat dipahami bahwa perkembangan tasyri’ pada masa tanzimat di kerajaan Turki Usmani banyak dipengaruhi oleh hukum dari Barat, artinya telah bercampur hukum Islam dengan hukum Barat. Sedangkan Piagam Gulhane menyatakan penghargaan tinggi pada syari’at Islam tetapi juga mengakui perlunya diadakan sistem baru. Hukum baru yang disusun banyak dipengaruhi oleh hukum Barat. Apalagi piagam Humayun yang secara tegas diperlakukan untuk non Islam dan Eropa. Pada masa ini telah ditetapkan pedoman hakim dalam menetapkan hukum, yaitu dengan dikeluarkannya Undang-undang Dusturiyah pada tahun 1293 H/1877 M. Sehingga terhindar dari hawa nafsu dan keinginan pribadi dalam menetapkan hukum. Dan juga didirikan Mahkamah al-Tamyiz (al-Naqdu) yang merupakan lembaga yang diberi wewenang untuk memecat para qadhi yang melakukan perbuatan yang melanggar hukum, karena dianggap tidak melaksanakan tugas sesuai yang ditetapkan.[19] Namun pada akhirnya lembaga yang didirikan serta undang-undang yang berlaku sebagaimana mestinya karena ada unsur korupsi dan kolusi dalam pemerintahan. Kondisi ini menjadikan peradilan seperti barang dagangan yang diperjualbelikan.

D.    Tasyri’ Setelah Tanzimat
Pada akhir periode Turki Usmani, persoalan peradilan semakin banyak dan sumber hukum yang dipegang tidak hanya terbatas pada syari’at Islam saja, tapi juga diambil dari sumber non syari’at Islam, dan pada masa ini banyak muncul lembaga peradilan yang sumber hukumnya saling berbeda, yaitu:
1. Mahkamah al-Thawaif atau Qadha al-Milli, yaitu peradilan untuk suatu kelompok (agama), sumbernya dari agama masing-masing.
2. Qadha al-Qanshuli, yaitu peradilan untuk warga negara asing dengan sumber undang-undang asing tersebut.
3. Qadha Mahkamah Pidana, bersumber dari Undang-undang Eropa.
4. Qadha Mahkamah al-Huquq, (Ahwal al-Madaniyah), mengadili perkara perdata, bersumber dari Majallah al-Ahkam al-Adliyah.
5. Majlis al-Syari’ al-Syarif, mengadili perkara umat Islam khusus masalah keluarga (al-Syakhsyiyah), sumbernya fiqh Islam.
Begitu pula dengan pengadilan sudah terdapat Mahkamah Biasa, Banding dan Mahkamah Agung. Dengan demikian kondisi qadha pada masa ini sudah beragam, dan ini merupakan pembaharuan yang dicapai pada periode sebelumnya atau masa tanzimat. Pembaharuan yang diadakan pada masa tanzimat tidak seluruhnya mendapat penghargaan dari pemuka masyarakat Islam, bahkan mendapat kritikan dari para cendikiawan Islam Kerajaan Turki Usmani. Kritikan ini timbul dari tokoh nasionalis Turki, Mustafa Kemal al-Taturk (Bapak Turki),[20] yang dipengaruhi oleh ide golongan nasionalis Turki dan nasionalis Barat. Westernisme, sekularisme[21] dan nasionalisme menjadi pola dan dasar pemikirannya. Ia berpendapat Turki hanya dapat maju dengan meniru Barat. Untuk mencapai ide tersebut, ia memproklamirkan Republik Turki Sekuler tahun 1942 M Mustafa Kemal selanjutnya menghilangkan institusi keagamaan dalam pemerintahan dengan menghapuskan Syaik al-Islam, Kementrian Syari’at dan Mahkamah Syari’at serta hukum syari’at dan hukum adat dihapuskan diganti dengan hukum Barat, dalam soal perkawinan diganti dengan hukum Swiss yaitu menurut hukum sipil. Wanita mendapat hak cerai yang sama dengan kaum pria, dan banyak lagi yang sudah diubah menjadi hukum Barat. Mustafa Kemal sebagai seorang nasionalis dan pengagum peradaban Barat tidak menentang Agama Islam, ini terbukti bahwa dalam mengurus persoalan agama diadakan Derpertemen Urusan Agama, dan masih memberikan kebebasan beragama kepada rakyat. Sekolah-sekolah pemerintah untuk mencetak imam dan khatib di Fakultas Illahiyat Istambul sampai saat ini masih eksis. Ia beranggapan agama Islam merupakan agama rasionalis, namun dirusak oleh pemahaman yang sempit, untuk itu perlu disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan Negara Turki. Al-Qur’an perlu diterjemahkan ke dalam Bahasa Turki. Azan harus diberikan dalam bahasa Turki. Azan dalam bahasa Turki ini mulai diterapkan pemakaiannya tahun 1931 M.
Modernisme dan westernisme Mustafa Kemal bukanlah bertujuan menghilangkan agama, namun yang dimaksudkan adalah menghilangkan kekuasaan agama dari bidang politik dan pemerintahan tetapi hal ini sangat membawa pengaruh pada perkembangan hukum Islam dan nampaknya sekularisme Mustafa Kemal sangat berpengaruh sampai saat ini.

E. Turki Usmani Menjadi Republik Turki
Agustus 1912, Enver Pasha secara rahasia menyepakati perjanjian persekututan dan militer dengan Jerman. Akibatnya Turki harus kehilangan banyak wilayahnya di Eropa dalam dua Perang Balkan. Selanjutnya Turki terjun ke kancah Perang Dunia I di bawah pemerintahan dictator militer yang didirikan Enver Pasha, Talaat dan Cemal. Kemenangan Inggris di front Mesopotamia menyebabkan Basrah dan Baghdad lepas dari Turki tahun 1917 . Pasukan Inggris terus maju ke utara dan berhasil mencapai Mesir Oktober 1917, lalu di Yerussalem pada Desember 1917. Dan puncaknya, Turki kalah dalam pertempuran di Mejiddo September 1918. Di Transkaukasus, revolusi Rusia memungkinkan Turki memperoleh kemenangan besar yang ditandai dengan proklamasi kemerdekaan Azerbaiyan dan penaklukan Baku. Namun kemenangan itu terlambat untuk mengubah keadaan umum militer dan tidak cukup waktu untuk mempengaruhi perkembangan politik. Akhirnya Turki menawarkan gencatan senjata yang ditandatangani di Mudros 30 Oktober 1918.[22]
Gerakan pembebasan Nasionalis lahir di Anatolia dipimpin Jendral Kezim Karabekir. Tanggal 11 April Sultan membubarkan parlemen dan Syekh al-Islam mengeluarkan fatwa bahwa pemimpin Nasionalis adalah gerombolan pemberontak yang patut dibunuh. Namun 23 April kelompok Nasionalis (juga disebut Msajelis Agung Nasional) mengadakan rapat dan menetapkan Mustafa Kemal sebagai presiden MAN. Strategi militer dan diplomasi yang digunakan kaum Nasionalis berhasil secara gemilang. Di bulan Oktober, Armenia menyerahkan Kars dan Rdakan kepada Turki. Kemudian mengikuti keberhasilan lainnya yaitu: Italia menyerahkan Anatoiia, perjanjian perbatasan dan kerjasama militer dengan Rusia dan penandatangan perjanjian Franklin Bouillan.
Melihat keberhasilan kaum Nasionalis, oerdana menteri Inggris meminta bantuan kepada pihak sekutu namun tidak mendapat tanggapan. Tanggal 11 OKtober, Thrace Timur dan Adrianopel dikembalkan kepada Turki.
Setelah kemenangan dapat dipastikan, Kemal menyerukan gagasannya mengenai pembaruan di negara Turki yang baru. Dengan mempertahankan pandangan bahwa negara di atas segalanya. Kemal ingin menciptakan Turki modern dengan kedaulatan dan semua kekuatan adminitratif berada di tangan rakyat. Sebagai langkah awal, kesultanan dihapuskan sementara kekhalifahan tetap dipertahankan sebagai pemegang jabatan keagamaan tanpa memiliki kekuasaan politik. Kemudian memilih majelis yang baru dan memproklamasikan Turki menjadi negara Republik.
Tanggal 23 Oktober 1923, sebuah amandemen diumumkan dan ditetapkan bahwa “bentuk pemerintahan Turki adalah Republik, presiden Turki dipilih oleh Majelis Agung Nasional dalam sidang pleno, presiden Turki adalah kepala negara dan berhak mengangkat perdana menteri.” Mustapha Kemal dipilih sebagai presiden pertama Republik Turki.
Pembaruan Kemalis merupakan penerapan adaptasionisme dalam bentuk westernisasi sekuler. Program ini tidak menolak Islam ataupun menentang agama, hanya saja agama diturunkan peranannya menjadi nilai personal. Pembaruan tersebut berusaha menciptakan bentuk Islam baru yang individualistik modern.
April 1924, MAN menghapuskan pengadilan syariah dan membubarkan Kementerian Urusan Keagamaan dan Kesalehan. Lembaga pendidikan madrasah secara bertahap digantikan menjadi sistem pendidikan sekuler di seluruh wilayah Turki. Desember 1925 tarekat mulai dilarang, menyusul dihapuskannya kode sipil hukum syariah di Februari 1926. Puncaknya amandemen mencoret kata “agama negara Turki adalah Islam”  dalam konstitusi dan sekularisme ditulis di dalamnya tahun 1927 sebagai dasar negara yang fundamental. Kebijakan selanjutnya adalah usaha “nasionalisasi Islam” (atau men-Turkikan Islam), sehingga semua orang dapat memahami keyakinannya tanpa harus bersandar kepada penafsir profesional. Adzan dan khutbah Jumat menggunakan bahasa Turki, tahun 1933 keputusan pemerintah menyatakan adzan dalam bahasa Arab merupakan suatu pelanggaran. Penggantian tulisan Arab menjadi bahasa latin dan menjadikannya sebagai kewajiban, disahkan oleh Undang-Undang tanggal 3 November 1928.
Dampak dari sekularisasi di Turki (dalam hal kebebasan dan persamaan hak) mengakibatkan hukum waris Islam dihapuskan, perempuan muslim bebas mengawini laki-laki non Islam, dan bagi warga negara yang sudah dewasa dibenarkan berpindah agama. Untuk mengganti segala hukum dan aturan zaman Utsmaniyah, majelis menetapkan hukum perdata Swis, hukum pidana Itali dan hukum dagang Jerman sebagai hukum yang berlaku.[23] Sejak 1925 pemerintah melarang oranng-orang yang tidak memegang jabatan agama yang diakui pemerintah memakai jubah dan lencana, dana mewajibkan pegawai negeri berpakaian stelan ala Barat dan kopiah. Menurut undang-undang yang disahkan, laki-laki harus memakai kopiah dan pemakaian surban adalah pelanggaran/ kriminal. Undang-undang Juni 1924 mengharuskan rakyat Turki mencantumkan nama keluarga, di saat yang sama gelar lama dan tanda kehormatan dihapuskan. Libur hari Jumat diganti menjadi hari Minggu. Sedangkan dalam pidatonya, Kemal mengecam perempuan yang mengenakan cadar.
Pemerintrahan Kemal dengan sistem pemerintahan partai tunggal tidak memberi ruang bagi perkembangan kelompok oposisi. Februari 1925 pemberontakan Kurdi meletus, menuntut pengembalian Islam dalam pemerintahan dan otonomi lokal. Operasi militer dikerahkan untuk memadamkan pemberontakan Kurdi. Tanggal  29 Juni, Syekh Said (pimpinan pemberontakan Kurdi) dihukum mati bersama 47 orang pimpinan Kurdi lainnya. Suatu komplotan yang dipimpin oleh Ziya Hursyid berusaha membunuh Kemal namun akhirnya terbongkar tanggal 15 Juli 1926. Esoknya, ia dihukum mati.[24]
Tahun 1930, Partai Republik Independen (sebuah partai oposisi kecil) didirikan oleh Fathy Okyar dengan izin Kemal. Namun segera dibubarkan karena dianggap gagal sebagai partai oposisi yang moderat. Lalu diselenggarakan pemilu untuk memilih 16 anggota majelis yang kemudian menjadi ciri tetap Majelis Agung Nasional (termasuk 2 orang Yunani, seorang Armenia dan seorang Yahudi).







III. PENUTUP
A.    Kesimpulan
Perkembangan hukum Islam pada masa kerajaan Turki Usmani mengalami dinamika yang beragam pada mula kekuasaan hukum dipegang oleh syari’at Islam yang diintervensi oleh pemerintah. Kemudian perkembangan hukum selanjutnya tidak hanya dipegang oleh syari’at Islam tetapi juga hukum selain Islam yaitu orang non Islam Eropa dan mereka mendapatkan kedudukan yang sama dalam hukum. Ini terjadi pada masa tanzimat[25], dan pada akhirnya muncul hukum sekuler yang dipelopori oleh Mustafa Kemal yang banyak membawa perubahan dalam syari’at Islam yang kalau diperhatikan ini diwariskan sampai saat sekarang.

B.     Kritik Dan Saran
Demikianlah makalah ini kami buat, kami menyadari tentunya makalah ini tak lepas dari kesalahan-kesalahan, baik itu kesalah tulisan atau kesalahan materi, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari teman-teman dan dosen pengampu senantiasa kami harapkan, demi kesempurnaan makalah ini.






DAFTARPUSTAKA

Maryam, Siti, Sejarah Perdaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern, Yogykarta: LESFI; 2002.
A.Mugni, Syafiq, Sejarah Kebudayaan Islam Di Turki, Cet. I; Jakarta: Logos, 1997.
Al-Barry, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994.
Amin, Ahmad Husayn, Al-Mi’ah al-A’zham Fi Tarikh al-Islam diterjemahkan oleh Bahruddin Fanni dengan judul Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, Cet. I; bandung: Remaja Rosdakarya, 1995.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, Jilid V, Cet. III; Jakarta: PT. Interinasa, 1994.
Muhaimin et.al. Dimensi-Dimensi Studi Islam, Cet. I; Surabaya: Karya Aditama, 1994.
M. Lapidus, Ira, A History of Islamic Societies, diterjemahkan oleh Ghufran A. Mas’adi, dengan judul Sejarah Sosial Ummat Islam, Cet. I; jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.
Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Cet. IX; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992.
Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam Imperium Turki Usmani, (Jakarta: Kalam Mulia, 1988)




[1] Athur Goldscmidt, A Concise History of the Midle Sast, Edisi ke-4, (USA: Westview Press, 1991), h. 124.
[2] Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1985), Jilid I, h. 82-83.
[3] Philip K. Hitti, History of the Arabs, (London: The Mac Millan Press, 1974), h. 710.
[4] Ahmad Syalabi. Sejarah dan Kebudayaan Islam Imperium Turki Usmani, (Jakarta: Kalam Mulia, 1988), h. 93.

[5] Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, h. 85.
[6] Abdurrahman Ibn Hayyin Abdul Aziz al-Humaidi, Al-qadha wa Nizamuhu fi al-Kitab al-Sunnah, (Kairo: Ma’had al-Mabhas al-Ilah, t.t), h. 298.
[7] Su’ud Ibn Ali Duraib, Al-Tanzhim fi Mamlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah, (Riyadh: Maktab al-Wazir, 1983), h. 278.
[8]Ibid., h. 290.
[9] Siti Maryam, Sejarah Perdaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern (Yogykarta: LESFI; 2002)., h. 140-141.
[10] Ibid., h. 143.
[11] Ibid., h. 146.
[12] Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan., h. 93.
[13] Ibid., h. 97.
[14] Syafiq A. Muqni, Sejarah Kebudayaan Islam Di Turki, Cet. I; (Jakarta: Logos, 1997)., h. 127-128.
[15] Ibid., h. 130.
[16] Ibid., h. 134.
[17] Ibid., h. 133.
[18] Ibid., h. 140.
[19]Ibid., h. 143.
[20] Ibid., h. 155.
[21] M. Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994)., h. 76.

[22] Maryam, Sejarah Peradaban Islam,. H. 159.
[23] Ibid,. h. 161.
[24] Ibid., h. 163.
[25] Ibid., h. 158.

1 komentar: