KERAJAAN TURQI USMANI
Dosen
Pembimbing :
M. Ridwan
Abu Bakar
Dibuat
oleh :
Lukmanul hakim ( A02212064 )
JURUSAN
SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS
ADAB
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
2014
I.
PENDAHULUAN
Kerajaan Turki Usmani muncul di saat Islam berada dalam era
kemunduran pertama.[1] Berawal dari kerajaan kecil, lalu
mengalami perkembangan pesat, dan akhirnya sempat diakui sebagai negara
adikuasa pada masanya dengan wilayah kekuasaan yang meliputi bagian utara
Afrika, bagian barat Asia dan Eropa bagian Timur.[2] Masa pemerintahannya berjalan dalam
rentang waktu yang cukup panjang sejak tahun 1299 M-1924 M. Kurang lebih enam
abad (600 tahun).[3].
Dalam rentang waktu yang demikian
panjang kerajaan Turki Usmani mengalami dinamika yang selalu menghadirkan
format dan ciri khas yang baru dalam pemerintahan, bahkan merupakan penyelamat
dan bebas dunia Islam dari kekacauan yang berkepanjangan terutama di bidang
hukum, karena sebagaimana diketahui, bahwa pemerintahan Turki Usmani tidak
hanya terbatas pada kekuasaan dan wilayah, tapi juga meliputi bidang agama.
Pada periode berikutnya, kerajaan Turki
Usmani yang berpijak kepada Syari’at Islam mulai bergeser menjadi hukum
sekuler, ini terjadi pada akhir abad-19 tepatnya pada era tanzimat (1839-1876)
ketika terjadi persentuhan budaya timur (Islam) dengan budaya Barat (Eropa).[4] Era tanzimat
merupakan gerakan pembaharuan yang terjadi di Turki Usmani, yang pada
hakikatnya berintikan upaya pemerintah Turki Usmani untuk melakukan perbaikan
dalam tata aturan perundangan di segala bidang, dan salah satu hukum, di
samping piagam Gulhane dan Humayun. Untuk mengetahui lebih jauh tentang
perkembangan hukum Islam pada masa Turki Usmani makalah sederhana ini mencoba
menguraikan, dengan pokok pembahasan; Sebelum Tanzimat, Era Tanzimat, dan
sesudah tanzima, hingga Turki Usami menjadi sebuah Republik.
II. PEMBAHASAN
A. Sebelum Tanzimat
Kerajaan Turki Usmani dikepalai oleh
seorang Sultan yang mempunyai kekuasaan temporal atau dunia dan kekuasaan
spritual atau rohani. Sebagai
penguasa duniawi ia memakai titel Sultan dan sebagai kepala rohani umat Islam
ia memakai gelar Khalifah.[5]
Dengan demikian Raja Usmani mempunyai dua bentuk kekuasaan, kekuasaan
memerintah negara dan kekuasaan menyiarkan dan membela Islam. Dalam
melaksanakan kedua kekuasaan di atas, Sultan dibantu oleh dua pegawai tinggi: sadrazam
untuk urusan pemerintahan dan syaikh al-Islam untuk urusan
keagamaan. Keduanya tidak mempunyai banyak suara dalam soal pemerintahan dan
hanya melaksanakan perintah Sultan.
Dikala Sultan berhalangan atau berpergian ia digantikan sadrazam
dalam menjalankan pemerintahan. Syaikh al-Islam yang mengurus bidang
keagamaan dibantu oleh qadhi askar al-rumali yang membawahi qadhi-qadhi
wilayah Usamniyah bagian Eropa, sedang qadhi askar anduly membawahi
qadhi-qadhi wilayah Usmaniyah di Asia dan Mesir.[6]
Dalam melaksanakan tugasnya para qadhi tersebut merujuk kepada mazhab Hanafi.[7]
Hal ini yang disebabkan mazhab yang dipakai oleh Sultan adalah mazhab Hanafi.
Bentuk-bentuk peradilan pada masa ini :
1.
Mahkamah Biasa/Rendah (al-Juziyat), yang bertugas
menyelesaikan perkara-perkara pidana dan perdata.
2.
Mahkamah Banding (Mahkamah al-Isti’naf), yang
bertugas meneliti dan mengkaji perkara yang berlaku.
3.
Mahkamah Tinggi (Mahkamah al-Tamayz au al-Naqd wa
al-Ibram), yang bertugas memecat para qadhi yang terbukti melakukan
kesalahan dalam menetapkan hukum.
4.
Mahkamah Agung (Mahkamah al-Isti’naf al-Ulya), yang
langsung di bawah pengawasan Sultan.[8]
Lembaga peradilan (qadha’) pada masa ini belum berjalan
dengan baik, karena terdapat intervensi dari pemerintah, bahkan sistem
peradilan dikuasai oleh kroni-kroni dan pejabat pemerintah. Jadi belum tampak
dengan jelas pemisahan antara urusan agama dan pemerintahan.
B. Konflik
dengan Jeniserry
Wazir Agung sebagai figure kunci dalam
pembaruan, berpendapat bahwa kekalahan Turki disebabkan oleh persoalan teknismiliter dan transfer
ilmu pengetahuan dan teknologi dari Eropa merupakan jalan keluarnya. Selain itu
para ahli Eropa juga diundang Turki
guna mempercepat pembaruan. Bagaimana pun usaha-usaha pembaruan tidak berjalan
dengan mudah, kelompok-kelompok konservatif
yang awalnya mendukung pembaruan ternyata mempunyai kepentingan masing-masing.
dalam masa itu terjadi dua siklus peristiwa dari interaksi kelompok pembaharuan
dengan kelompok konservatif, yaitu:
1. Peristiwa
Edirne tahun 1703, Syekh al-Islam Feyzulah berhasil merebut posisi Wazir
Agung dari koprulu. sepak terjang Feyzullah menciptakan oposisi di berbagai
tempat. bersama-sama dengan mahasiswa, ulama level rendah, dan
kelompok-kelompok penentang, Jeniserry melancarkan pemberontakan dan berhasil menguasai Istambul
dan istana Sultan di Edirne.
2. Periode
Tulip. Damod Ibrahim sebagai Wazir Agung didukung Sultan Ahmad III, melakukan
usaha-usaha besar dalam mengadopsi teknologi modern guna memperkuat
pemerintahan pusat. namun kebijakannya tidak mampu memecahkan kesulitan utama
pemerintah di bidang financial dan sosial masyarakat pada umumnya. Priode ini
berakhir ketika semua unsur oposisi berhasil menggulingkan Sultan dan Wazir
Agunya tahun 1750.[9]
Di masa pemerintahan Salim III, pembaruan
lebih fundamental di bidang politik, sosial, ekonomi dan hukum. Meskipun Salim gagal dalam
banyak hal, usaha pembaruannya menimbulkan periode orde baru. program
pembaruannya yang paling serius adalah di bidang militer yaitu dengan
meningkatkan kemampuan Jeniserry (dengan mengharuskan mengikuti pendidikan dan
pelatihan terprogram
di bawah instuktur Perancis). Jeniserry dituntut menguasai strategi dan
teknologi militer modern, serta dilarang terlibat dalam kegiatan-kegiatan non
militer. Jeniserry bersama pejabat provinsi berhasil mengerahkan rakyat
menentang pembaruan Salim. Tahun 1801 Salim berhasil digulingkan.
Mahmud II dinobatkan menggantkan Salim,
di awal pemerintahannya, Mahmud berusaha mengakomodasi kekuatan-kekuatan yang
beraneka ragam sambil perlahan-lahan merekrut orang-orang yang sepaham
dengannya (di golongan elit dan jeniserry), kemudian menempatkan mereka pada
posisi-posisi penting dalam lembaga-lembaga keagamaan dan militer. Tahun 1826
membentuk korps tentara baru, di tahun yang sama Sultan Mahmud memerintahkan
tentara baru tersebut untuk meredamkan pemberontakan dan jeniserry dinyatakan
bubar.
Pembaruan yang dilakukan Mahmud
setelahnya semakin memperjelas arah pembaruan Turki berikutnya, terutama di
bidang pendidikan. Pembaruan berhasil memperkuat dan
diidentifikasikan dengan ide pembaruan westernisasi. Sayangnya program-program
pembaru Mahmud tidak mampu membangkitkan Turki dan malah menjadikan Turki
sangat bergantung kepada Eropa dalam hutang luar negeri dan alih teknologi.[10]
C. Masa Tanzimat
atau Reorganisasi (1839-1876 M)
Secara etimologi tanzimat berasal dari kata nazhzhama-yunazhzhimu-tanzhimat,
yang berarti mengatur, menyusun, dan memperbaiki.[11] Ini dimaksudkan untuk menggambarkan
seluruh gerakan pembaharuan yang terjadi di Turki Usmani pada pertengahan abad
ke-19. Gerakan ini ditandai dengan munculnya sejumlah tokoh pembaharuan Turki
Usmani yang belajar dari Barat yaitu bidang pemerintahan, hukum, administrasi,
pendidikan, keuangan, perdagangan dan sebagainya.
Tanzimat merupakan suatu gerakan
pembaharuan sebagai kelanjutan dari kemajuan yang telah dilakukan oleh Sultan
Sulaiman (1520-1566 M) yang termasyhur dengan nama al-Qanuni. Namun pembaharuan yang sebenarnya
lebih membekas dan berpengaruh pada masa Sultan Mahmud II (1808-1839 M) Ia
memusatkan perhatiannya pada berbagai perubahan internal diantaranya dalam
organisasi pemerintahan dan hukum. Sultan Mahmud II juga dikenal sebagai Sultan
yang pertama kali dengan tegas mengadakan perbedaan antara urusan agama dan
urusan dunia. Urusan agama diatur oleh syari’at Islam (tasyr’ al-dini) dan
urusan dunia diatur oleh hukum yang bukan syari’at (tasyri’ madani).[12]
Hukum syari’at terletak di bawah kekuasaan syaikh al-Islam, sedangkan
hukum bukan syari’at diserahkan kepada dewan perancang hukum untuk mengaturnya,
hukum yang bukan syari’at ini diadopsi dari Eropa, Perancis dan negeri asing
lainnya. Diantaranya adalah al-Nizham al-Qadha al-Madani (Undang-undang
Peradilan Perdata).[13]
Kemunculan tanzimat dilatar belakangi oleh:
1.
Khusus bidang hukum terjadinya persentuhan hukum Barat dan
hukum Islam
Disamping
itu pada masa ini kondisi masyarakat terdiri dari tiga lapisan yaitu:
1.
Tradisional, yang mempertahankan dan membangun pemikiran
berdasarkan fiqh dan berpijak pada mazhab yang ada. Karena fiqh dianggap telah
mapan dan sempurna sehingga mereka berpendapat mazhab ini harus dikembangkan
dan disosialisasikan.
2.
Modernisme, yang menawarkan agar fiqh perlu diseleksi dan dikembangkan
sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat.
3.
Reformasi, melontarkan gagasan, bahwa fiqh yang ada tidak
mampu merespon berbagai perkembangan yang muncul sebagai akses perkembangan
zaman dan kebutuhan manusia yang multi dimensionalitas. Oleh karena itu
diperlukan fiqh baru, yang menafsirkan nash secara kontekstual.
Agaknya keadaan masyarakat ini juga mempengaruhi munculnya
pembaharuan lebih-lebih lapisan modernisme dan reformasi. Realisasi pembaharuan
ini dimulai dengan diumumkannya Piagam Gulhane (Khatt-i Syarif Gulhane) pada
tanggal 3 Nopember 1839 M, kemudian ditindaklanjuti dengan dikeluarkannya
Piagam Humayun (Khatt-i Syarif al-Humayun) pada tahun 1856 M.20 Gerakan
ini terjadi pada masa Sultan Abdul Majid (1839-1861 M) putra Sultan Mahmud II.
Piagam Gulhane berisikan berbagai bentuk perubahan yang pada masa permulaan
kerajan Turki Usmani, syari’at Islam dan Undang-undang Negara dipatuhi,
sehingga negara menjadi kokoh dan kuat. Untuk kembali pada masa tersebut, maka
perlu diadakan perubahan-perubahan yang membawa kepada pemerintahan yang baik,
yaitu:
1.
Terjaminnya ketentraman hidup, harta kehormatan dan warga
negara.
2.
Peraturan mengenai pemungutan pajak.
3.
Peraturan mengenai kewajiban dan lamanya dinas meliter.[16]
Selanjutnya dijelaskan bahwa tertuduh akan diadili secara
terbuka dan sebelum pengadilan pelaksanaan hukuman mati dengan racun dan jalan
lain tidak dibolehkan. Pelanggaran terhadap kehormatan seseorang juga tidak
diperkenankan. Hak milik terhadap harta dijamin dan tiap orang mempunyai kebebasan
terhadap harta yang dimilikinya. Ahli waris dari yang kena hukuman pidana tidak
boleh dicabut haknya untuk mewarisi, dan demikian pula harta yang kena hukuman
pidana tidak boleh disita.[17]Melihat
muatan Piagam Gulhane ini terlihat adanya usaha pembaharu untuk melakukan
rekonsiliasi antar muslim tradisional dengan kemajuan[18],
serta institusi-institusi baru yang tidak bertentangan dengan hukum Islam,
bahkan bisa menampung kebutuhan mereka. Menjamin keamanan hidup, ketenangan,
jaminan kepemilikan.
Satu hal yang penting dalam piagam ini adalah adanya
ketentuan bahwa aturan-aturan itu berlaku untuk semua lapisan masyarakat dan
semua golongan agama tanpa ada pengecualian. Atas dasar piagam ini, maka
terjadi beberapa pembaharuan dalam berbagai institusi kemasyarakan Turki
Usmani. Diantaranya dalam bidang hukum dirumuskannya kodifikasi hukum perdata
oleh Majelis Ahkam al-Adliyah dan hukum pidana. Sedang dibidang
pemerintahan adanya sistem musyawarah dan di bidang pendidikan adanya pemisahan
antara pendidikan umum dan agama, serta kekuasaan pendidikan umum dilepaskan
dari kekuasaan ulama Pada masa ini mulai masuk pengaruh sistem pendidikan
Barat. Agaknya sejak saat ini pemisahan pendidikan antara hukum dan agama ini
berlaku sampai sekarang.
Selanjutnya pada tahun 1856 M Sultan
Abdul Majid mengumumkan berlakunya piagam Humayun yang lebih banyak mengandung
pembaharuan terhadap kedudukan orang Eropa dan non muslim yang berada di bawah
kekuasaan Turki Usmani, sehingga antara orang Eropa dan rakyat Islam Turki
tidak ada perbedaan lagi artinya mereka mempunyai hak yang sama dalam hukum.
Walaupun piagam Humayun dikeluarkan untuk memperkuat keberadaan piagam Gulhane,
namun jika diperhatikan lebih jauh piagam ini memberikan hak dan jaminan kepada
bangsa Eropa untuk semakin memantapkan keberadaan di Turki Usmani. Sikap pro-Barat ini pada akhirnya
membawa kelemahan terhadap kerajaan Turki Usmani dalam menghadapi Eropa.
Dapat
dipahami bahwa perkembangan tasyri’ pada masa tanzimat di kerajaan Turki Usmani
banyak dipengaruhi oleh hukum dari Barat, artinya telah bercampur hukum Islam
dengan hukum Barat. Sedangkan Piagam Gulhane menyatakan penghargaan tinggi pada
syari’at Islam tetapi juga mengakui perlunya diadakan sistem baru. Hukum baru
yang disusun banyak dipengaruhi oleh hukum Barat. Apalagi piagam Humayun yang
secara tegas diperlakukan untuk non Islam dan Eropa. Pada masa ini telah
ditetapkan pedoman hakim dalam menetapkan hukum, yaitu dengan dikeluarkannya
Undang-undang Dusturiyah pada tahun 1293 H/1877 M. Sehingga terhindar
dari hawa nafsu dan keinginan pribadi dalam menetapkan hukum. Dan juga
didirikan Mahkamah al-Tamyiz (al-Naqdu) yang merupakan lembaga yang
diberi wewenang untuk memecat para qadhi yang melakukan perbuatan yang
melanggar hukum, karena dianggap tidak melaksanakan tugas sesuai yang
ditetapkan.[19]
Namun pada akhirnya lembaga yang didirikan serta undang-undang yang berlaku
sebagaimana mestinya karena ada unsur korupsi dan kolusi dalam pemerintahan.
Kondisi ini menjadikan peradilan seperti barang dagangan yang diperjualbelikan.
D. Tasyri’
Setelah Tanzimat
Pada akhir periode Turki Usmani, persoalan peradilan semakin
banyak dan sumber hukum yang dipegang tidak hanya terbatas pada syari’at Islam
saja, tapi juga diambil dari sumber non syari’at Islam, dan pada masa ini
banyak muncul lembaga peradilan yang sumber hukumnya saling berbeda, yaitu:
1.
Mahkamah al-Thawaif atau Qadha al-Milli, yaitu peradilan untuk
suatu kelompok (agama), sumbernya dari agama masing-masing.
2.
Qadha al-Qanshuli, yaitu peradilan untuk warga negara asing dengan
sumber undang-undang asing tersebut.
3.
Qadha Mahkamah Pidana, bersumber dari Undang-undang Eropa.
4.
Qadha Mahkamah al-Huquq, (Ahwal al-Madaniyah), mengadili perkara
perdata, bersumber dari Majallah al-Ahkam al-Adliyah.
5.
Majlis al-Syari’ al-Syarif, mengadili perkara umat Islam khusus masalah
keluarga (al-Syakhsyiyah), sumbernya fiqh Islam.
Begitu pula dengan pengadilan sudah terdapat Mahkamah Biasa,
Banding dan Mahkamah Agung. Dengan
demikian kondisi qadha pada masa ini sudah beragam, dan ini merupakan
pembaharuan yang dicapai pada periode sebelumnya atau masa tanzimat.
Pembaharuan yang diadakan pada masa tanzimat tidak seluruhnya mendapat
penghargaan dari pemuka masyarakat Islam, bahkan mendapat kritikan dari para cendikiawan Islam Kerajaan Turki
Usmani. Kritikan ini timbul dari tokoh nasionalis Turki, Mustafa Kemal
al-Taturk (Bapak Turki),[20]
yang dipengaruhi oleh ide golongan nasionalis Turki dan nasionalis Barat.
Westernisme, sekularisme[21]
dan nasionalisme menjadi pola dan dasar pemikirannya. Ia berpendapat Turki
hanya dapat maju dengan meniru Barat. Untuk mencapai ide tersebut, ia
memproklamirkan Republik Turki Sekuler tahun 1942 M Mustafa Kemal selanjutnya menghilangkan institusi
keagamaan dalam pemerintahan dengan menghapuskan Syaik al-Islam, Kementrian
Syari’at dan Mahkamah Syari’at serta hukum syari’at dan hukum adat
dihapuskan diganti dengan hukum Barat, dalam soal perkawinan diganti dengan
hukum Swiss yaitu menurut hukum sipil. Wanita mendapat hak cerai yang sama
dengan kaum pria, dan banyak lagi yang sudah diubah menjadi hukum Barat.
Mustafa Kemal sebagai seorang nasionalis dan pengagum peradaban Barat tidak
menentang Agama Islam, ini terbukti bahwa dalam mengurus persoalan agama
diadakan Derpertemen Urusan Agama, dan masih memberikan kebebasan beragama
kepada rakyat. Sekolah-sekolah pemerintah untuk mencetak imam dan khatib di
Fakultas Illahiyat Istambul sampai saat ini masih eksis. Ia beranggapan
agama Islam merupakan agama rasionalis, namun dirusak oleh pemahaman yang
sempit, untuk itu perlu disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan Negara Turki.
Al-Qur’an perlu diterjemahkan ke dalam Bahasa Turki. Azan harus diberikan dalam
bahasa Turki. Azan dalam bahasa Turki ini mulai diterapkan pemakaiannya tahun
1931 M.
Modernisme dan westernisme Mustafa Kemal bukanlah bertujuan
menghilangkan agama, namun yang dimaksudkan adalah menghilangkan kekuasaan
agama dari bidang politik dan pemerintahan tetapi hal ini sangat membawa
pengaruh pada perkembangan hukum Islam dan nampaknya sekularisme Mustafa Kemal
sangat berpengaruh sampai saat ini.
E. Turki Usmani Menjadi Republik Turki
Agustus 1912, Enver Pasha secara rahasia
menyepakati perjanjian persekututan dan militer dengan Jerman. Akibatnya Turki
harus kehilangan banyak wilayahnya di Eropa dalam dua Perang Balkan.
Selanjutnya Turki terjun ke kancah Perang Dunia I di bawah pemerintahan
dictator militer yang didirikan Enver Pasha, Talaat dan Cemal. Kemenangan
Inggris di front Mesopotamia menyebabkan Basrah dan Baghdad lepas dari Turki
tahun 1917 . Pasukan Inggris terus maju ke utara dan berhasil mencapai Mesir
Oktober 1917, lalu di Yerussalem pada Desember 1917. Dan puncaknya, Turki kalah
dalam pertempuran di Mejiddo September 1918. Di Transkaukasus, revolusi Rusia
memungkinkan Turki memperoleh kemenangan besar yang ditandai dengan proklamasi
kemerdekaan Azerbaiyan dan penaklukan Baku. Namun kemenangan
itu terlambat untuk mengubah keadaan umum militer dan tidak cukup waktu untuk mempengaruhi perkembangan politik. Akhirnya
Turki menawarkan gencatan senjata yang ditandatangani di Mudros 30 Oktober 1918.[22]
Gerakan pembebasan Nasionalis lahir di
Anatolia dipimpin Jendral Kezim Karabekir. Tanggal 11 April Sultan membubarkan
parlemen dan Syekh al-Islam mengeluarkan fatwa bahwa pemimpin Nasionalis adalah
gerombolan pemberontak yang patut dibunuh. Namun 23 April kelompok Nasionalis
(juga disebut Msajelis Agung Nasional)
mengadakan rapat
dan menetapkan Mustafa Kemal sebagai presiden MAN. Strategi militer dan
diplomasi yang digunakan kaum Nasionalis berhasil secara gemilang. Di bulan
Oktober, Armenia menyerahkan Kars dan Rdakan kepada Turki. Kemudian mengikuti
keberhasilan lainnya
yaitu: Italia menyerahkan Anatoiia, perjanjian perbatasan dan kerjasama militer
dengan Rusia dan penandatangan perjanjian Franklin Bouillan.
Melihat keberhasilan kaum Nasionalis,
oerdana menteri Inggris meminta bantuan kepada pihak sekutu namun tidak mendapat tanggapan. Tanggal 11
OKtober, Thrace Timur dan Adrianopel dikembalkan kepada Turki.
Setelah kemenangan dapat dipastikan,
Kemal menyerukan gagasannya mengenai pembaruan di negara Turki yang baru.
Dengan mempertahankan pandangan
bahwa negara di atas segalanya. Kemal ingin menciptakan Turki modern dengan
kedaulatan dan semua kekuatan adminitratif berada di tangan rakyat. Sebagai
langkah awal, kesultanan dihapuskan sementara kekhalifahan tetap dipertahankan
sebagai pemegang jabatan keagamaan tanpa memiliki kekuasaan politik. Kemudian
memilih majelis yang baru dan memproklamasikan Turki menjadi negara Republik.
Tanggal 23 Oktober 1923, sebuah
amandemen diumumkan dan ditetapkan bahwa “bentuk pemerintahan Turki adalah
Republik, presiden Turki dipilih oleh Majelis Agung Nasional dalam sidang
pleno, presiden Turki adalah kepala negara dan berhak mengangkat perdana
menteri.” Mustapha Kemal dipilih sebagai presiden pertama Republik Turki.
Pembaruan Kemalis merupakan penerapan
adaptasionisme dalam bentuk westernisasi sekuler. Program ini tidak menolak
Islam ataupun menentang agama, hanya saja agama diturunkan peranannya menjadi
nilai personal. Pembaruan tersebut berusaha menciptakan bentuk Islam baru yang
individualistik modern.
April 1924, MAN menghapuskan pengadilan
syariah dan membubarkan Kementerian Urusan Keagamaan dan Kesalehan. Lembaga
pendidikan madrasah secara bertahap digantikan menjadi sistem pendidikan
sekuler di seluruh wilayah Turki. Desember 1925 tarekat mulai dilarang,
menyusul dihapuskannya kode sipil hukum syariah di Februari 1926. Puncaknya
amandemen mencoret kata “agama negara Turki adalah Islam” dalam konstitusi dan sekularisme ditulis di
dalamnya tahun 1927 sebagai dasar negara yang fundamental. Kebijakan
selanjutnya adalah
usaha “nasionalisasi Islam” (atau men-Turkikan Islam), sehingga semua orang
dapat memahami keyakinannya tanpa harus bersandar kepada penafsir profesional.
Adzan dan khutbah Jumat menggunakan bahasa Turki, tahun 1933 keputusan
pemerintah menyatakan adzan dalam bahasa Arab merupakan suatu pelanggaran.
Penggantian tulisan Arab menjadi bahasa latin dan menjadikannya sebagai
kewajiban, disahkan oleh Undang-Undang tanggal 3 November 1928.
Dampak dari sekularisasi di Turki (dalam
hal kebebasan dan persamaan
hak) mengakibatkan hukum waris Islam dihapuskan, perempuan muslim bebas
mengawini laki-laki non Islam, dan bagi warga negara yang sudah dewasa
dibenarkan berpindah agama. Untuk mengganti segala hukum dan aturan zaman
Utsmaniyah, majelis menetapkan hukum perdata Swis, hukum pidana Itali dan hukum
dagang Jerman sebagai hukum yang berlaku.[23]
Sejak 1925 pemerintah melarang oranng-orang yang tidak memegang jabatan agama
yang diakui pemerintah memakai jubah dan lencana,
dana mewajibkan pegawai negeri berpakaian stelan ala Barat dan kopiah. Menurut
undang-undang yang disahkan, laki-laki harus memakai kopiah dan pemakaian
surban adalah pelanggaran/ kriminal. Undang-undang Juni 1924 mengharuskan
rakyat Turki mencantumkan nama keluarga, di saat yang sama gelar lama dan tanda
kehormatan dihapuskan. Libur hari Jumat diganti menjadi hari Minggu. Sedangkan
dalam pidatonya, Kemal mengecam perempuan yang mengenakan cadar.
Pemerintrahan Kemal dengan sistem
pemerintahan partai tunggal tidak memberi ruang bagi perkembangan kelompok
oposisi. Februari 1925 pemberontakan Kurdi meletus, menuntut pengembalian Islam
dalam pemerintahan dan otonomi lokal. Operasi militer dikerahkan untuk memadamkan
pemberontakan Kurdi. Tanggal 29 Juni, Syekh Said (pimpinan pemberontakan
Kurdi) dihukum mati bersama 47 orang pimpinan Kurdi lainnya. Suatu komplotan
yang dipimpin oleh Ziya Hursyid berusaha membunuh Kemal namun akhirnya
terbongkar tanggal 15 Juli 1926. Esoknya, ia dihukum mati.[24]
Tahun 1930, Partai
Republik Independen (sebuah partai oposisi kecil) didirikan oleh Fathy Okyar
dengan izin Kemal. Namun segera dibubarkan karena dianggap gagal sebagai partai
oposisi yang moderat. Lalu diselenggarakan pemilu untuk memilih 16 anggota
majelis yang kemudian menjadi ciri tetap Majelis Agung Nasional (termasuk 2
orang Yunani, seorang Armenia dan seorang Yahudi).
III. PENUTUP
A.
Kesimpulan
Perkembangan hukum Islam pada masa kerajaan Turki Usmani
mengalami dinamika yang beragam pada mula kekuasaan hukum dipegang oleh syari’at
Islam yang diintervensi oleh pemerintah. Kemudian perkembangan hukum
selanjutnya tidak hanya dipegang oleh syari’at Islam tetapi juga hukum
selain Islam yaitu orang non Islam Eropa dan mereka mendapatkan kedudukan yang
sama dalam hukum. Ini terjadi pada masa tanzimat[25],
dan pada akhirnya muncul hukum sekuler yang dipelopori oleh Mustafa Kemal yang
banyak membawa perubahan dalam syari’at Islam yang kalau diperhatikan
ini diwariskan sampai saat sekarang.
B.
Kritik Dan
Saran
Demikianlah
makalah ini kami buat, kami menyadari tentunya makalah ini tak lepas dari
kesalahan-kesalahan, baik itu kesalah tulisan atau kesalahan materi, oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari teman-teman dan
dosen pengampu senantiasa kami harapkan, demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTARPUSTAKA
Maryam, Siti, Sejarah Perdaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern,
Yogykarta: LESFI; 2002.
A.Mugni, Syafiq, Sejarah Kebudayaan
Islam Di Turki, Cet. I; Jakarta: Logos, 1997.
Al-Barry, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer,
Surabaya: Arkola, 1994.
Amin, Ahmad Husayn, Al-Mi’ah al-A’zham Fi Tarikh
al-Islam diterjemahkan oleh Bahruddin Fanni dengan judul Seratus Tokoh
Dalam Sejarah Islam, Cet. I; bandung: Remaja Rosdakarya, 1995.
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Islam, Jilid V, Cet. III; Jakarta: PT. Interinasa, 1994.
Muhaimin et.al. Dimensi-Dimensi Studi Islam,
Cet. I; Surabaya: Karya Aditama, 1994.
M. Lapidus, Ira, A History of Islamic Societies,
diterjemahkan oleh Ghufran A. Mas’adi, dengan judul Sejarah Sosial Ummat
Islam, Cet. I; jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999.
Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah
Pemikiran dan Gerakan, Cet. IX; Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1992.
Syalabi, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam Imperium Turki
Usmani, (Jakarta: Kalam Mulia, 1988)
[1]
Athur Goldscmidt, A Concise History of the Midle Sast, Edisi ke-4, (USA:
Westview Press, 1991), h. 124.
[2]
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI
Press, 1985), Jilid I, h. 82-83.
[3]
Philip K. Hitti, History of the Arabs, (London: The Mac Millan Press,
1974), h. 710.
[4] Ahmad
Syalabi. Sejarah
dan Kebudayaan Islam Imperium Turki Usmani, (Jakarta: Kalam Mulia, 1988), h.
93.
[6] Abdurrahman Ibn Hayyin Abdul Aziz
al-Humaidi, Al-qadha wa Nizamuhu fi al-Kitab al-Sunnah, (Kairo: Ma’had
al-Mabhas al-Ilah, t.t), h. 298.
[7] Su’ud Ibn Ali Duraib, Al-Tanzhim fi
Mamlakah al-Arabiyah al-Su’udiyah, (Riyadh: Maktab al-Wazir, 1983), h. 278.
[8]Ibid., h. 290.
[9] Siti Maryam, Sejarah Perdaban Islam
Dari Masa Klasik Hingga Modern (Yogykarta: LESFI; 2002)., h. 140-141.
[10] Ibid., h. 143.
[11] Ibid., h. 146.
[13] Ibid., h. 97.
[14] Syafiq A. Muqni, Sejarah Kebudayaan Islam Di
Turki, Cet. I; (Jakarta:
Logos, 1997)., h. 127-128.
[15] Ibid., h. 130.
[16] Ibid., h. 134.
[17] Ibid., h. 133.
[18] Ibid., h. 140.
[19]Ibid., h. 143.
[20] Ibid., h. 155.
[22] Maryam, Sejarah Peradaban Islam,.
H. 159.
[23] Ibid,. h. 161.
[24] Ibid., h. 163.
[25] Ibid., h. 158.
Mohon kritik dan sarannya . . .
BalasHapus